Sebanyak 280 jadwal penerbangan batal di Delta Airlines sebagai akibat dari terhentinya sistem TI utama, perusahaan mengatakan dalam sebuah pernyataan. Ini merupakan pemadaman seluruh sistem yang kedua kalinya bagi Delta Airlines dalam enam bulan terakhir. Pada tanggal 29 Januari 2017 yang lalu, United Airlines juga mengalami kelumpuhan pada infrastruktur data center yang mengakibatkan lebih dari 200 jadwal penerbangan dibatalkan.

Perangkat Usang Sebabkan Jadwal Penerbangan Batal

Orang yang terlibat dalam industri ini telah mengetahui peringatan tentang infrastruktur IT usang warisan yang diandalkan oleh perusahaan maskapai penerbangan raksasa ini. Mereka memprediksi insiden yang berhubungan dengan teknologi akan lebih sering terjadi.

Akan tetapi perusahaan enggan untuk melakukan upgrade besar, yang mahal dan sulit diterapkan karena sistem harus tetap online selama 24 jam. Inilah mengapa Request Time Objective (RTO) memerlukan disaster recovery pada saat pergantian perangkat data center.

Akibatnya, ratusan jadwal penerbangan batal berangkat. Jenis gangguan ini tidak dapat diterima di belahan dunia manapun. Bahwa sangat penting sebuah perusahaan besar untuk memiliki sistem operasional cadangan, terutama bagi yang melayani publik selama 24 jam nonstop. Pada kejadian ini, sistem data center maskapai penerbangan Delta kembali pulih setelah beberapa jam (tengah malam waktu setempat).

Pemadaman maskapai penerbangan akan berdampak sangat mahal. Selain biaya perbaikan dan kerusakan juga reputasi perusahaan menurun drastis. Mereka harus mengeluarkan pengembalian dana dan menjadwal ulang penerbangan bagi pelanggan yang terkena dampak. Delta memperkirakan bahwa kelumpuhan sistem IT Agustus (2016) yang lalu menelan biaya perusahaan sekitar US$ 150 juta atau sekitar Rp. 2 Triliun.

Peringatan Bagi Perusahaan Penerbangan Lainnya

Terutama bagi perusahaan penerbangan di Indonesia dan operator landasan seperti Angkasapura. Kejadian di Maskapai Delta dan maskapai penerbangan lainnya (United Airlines, Jet Blue, South West Airline dan sebagainya) merupakan peringatan serius terhadap industri penerbangan di tanah air.

Downtime pada maskapai penerbangan dapat berakibat delay penerbangan, maupun jadwal penerbangan batal total. Delay penerbangan maskapai akan sebabkan turunnya kualitas pelayanan dan biaya ‘entertain’ untuk penumpang pesawat. Sedangkan jadwal penerbangan batal maka perusahaan harus memberikan kompensasi dan juga hilangnya potensi omset. Biaya tetap berjalan, overhead bertambah untuk memperbaiki infrastruktur data center.

Dari data yang kami temukan, sebuah kejadian delay dapat mengakibatkan tambahan biaya dalam kisaran belasan triliun. Tentunya, yang kita bicarakan disini bukan delay atau jadwal penerbangan yang batal karena alasan teknis pesawat, akan tetapi karena gangguan sistem IT maskapai tersebut.

Bagaimana Cara Mencegah dan Mengatasi Downtime ?

Terlalu sering downtime terjadi di perusahaan besar. Tidak hanya pada maskapai penerbangan saja, sektor keuangan dan layanan finansial juga lebih mengerikan sebab downtimenya. Serangan cyber semakin beragam dalam era ekonomi digital sekarang ini. Seluruh penerapan intelejen dikerahkan oleh grup perusahaan besar di dunia yang menelan puluhan triliun untuk teknologi pengamanan.

Sebetulnya, ada hal menarik yang dapat kita pahami dari situasi ini yakni sarana disaster recovery center (DRC). Sebuah data center fisik di khususkan untuk pusat mitigasi bencana atau sebagai cadangan keseluruhan sistem operasional perusahaan. Maupun Disaster Recovery as a Service (DRaaS), Cloud Backup, Cloud Disaster Recovery, tetap di balik layanan cloud tersebut sebuah data center fisik berdiri di belakangnya.

Dengan menggunakan sistem DRC yang dalam hitungan detik atau menit dapat mengalihkan operasional  ke sistem cadangan di DRC tersebut, maka jumlah RTO downtime yang tadinya beberapa jam dapat semakin singkat. Hal ini secara langsung menurunkan biaya tambahan yang perlu di keluarkan dan dapat menjadi solusi mempertahankan kepercayaan konsumen pada saat sistem operasional mengalami gangguan.

Perbandingan Biaya Downtime dengan Biaya Disaster Recovery

Peningkatan pelayanan publik perlu di dukung oleh sebuah situs disaster recovery center yang layak. Gangguan sistem mungkin menjadi tidak terasa (seamless) oleh para pengguna, sementara team ahli IT anda berusaha perbaiki gangguan tersebut. Operasional dapat berjalan nonstop selama 24 x 7.

Jika kita bandingkan biaya downtime yang mencapai triliunan rupiah  dalam beberapa hari saja (kasus downtime Delta danJet Blue di tahun 2016), tentunya biaya untuk disaster recovery center yang berkisar belasan milyar per tahun pun akan sangat kecil. Alih-alih menekan biaya disaster recovery center, downtime terus menghantui pikiran para pemangku kepentingan dan orang-orang yang terlibat. Hal tersebut menghambat kelincahan dan kemampuan untuk bisnis perusahaan.

Tidak Sembarang Data Center yang Dapat Menjadi Situs DRC

Ibarat akan menempatkan seluruh sistem pada wadah di luar lokasi anda, tentunya wadah tersebut harus lebih kuat dari data center di perusahaan anda. Definisi situs DRC yang tepat dapat mencapai cost-effective. Berikut beberapa kriteria penting dalam menentukan sebuah situs Disaster Recovery Data Center.

  • Lokasi harus berbeda secara seismik, dan kondisi lingkungan dari data center induk di perusahaan anda. Untuk menjaga network latency, situs DRC disasrankan sekitar radius 50 km dari lokasi data center utama milik perusahaan anda.
  • Sertifikasi Tier dan Sertifikasi Keamanan. Sertifikasi tier yang berlaku di internasional adalah Uptime Institute dan CompTia (walau belum sepopuler The Uptime Institute). Dengan seleksi yang ketat, sebuah data center yang mendapat sertifikasi Tier III dari Uptime Institute akan sanggup memberikan SLA 99.999% hampir tanpa downtime dalam setahun operasional. Sedangkan sertifikasi lainnya seperti sertifikasi Tier TIA946 tidak seketat The Uptime Institute. Ini akan erat hubungannya dalam faktor keamanan. Data center yang telah mendapat sertifikasi TIER III dari The Uptime Institute biasanya tidak kesulitan mendapat sertifikasi ISO 27001 (tentang manajemen keamanan data center). Pemenuhan kedua sertifikasi ini dapat dikatakan wajib pada sebuah data center yang memang khusus untuk Disaster Recovery Center. Jika tidak, maka nama data center tersebut adalah colocation server data center.
  • Memiliki karyawan berpengalaman secara internasional (US dan Europe) dan memiliki sertifikasi profesional di beberapa bidang yang di butuhkan.

Cukup dengan 3 faktor tersebut, untuk mendapatkan cost-effective dalam hal keberlangsungan operasional bisnis perusahaan anda selama 24 x 7 non-stop. Dan akhirnya, seluruh orang yang terlibat di perusahaan dapat bebas dari kekhawatiran downtime yang dapat menyebabkan delay maupun pembatalan penerbangan.

elitery indonesia disaster recovery data center

Kami sangat senang jika ada rekan-rekan praktisi di perusahaan penerbangan maupun DR Provider yang mau berdiskusi dengan hal ini. Silahkan comment reply dibawah ini. Terimakasih!

Pin It on Pinterest

Share This