Perusahaan teknologi yang tergolong perusahaan besar menemukan bahwa komputasi awan tidak efektif biayanya seperti yang diharapkan. Dari perusahaan tersebut sebagian setidaknya telah memindahkan satu aplikasi kembali data center fisik (colocation server). Fenomena kembalinya pelanggan colocation server yang sempat berpindah ke cloud ini seperti efek bumerang.

Para penyedia layanan cloud di anjurkan unutuk bersiap diri menghadapi fenomena efek bumerang pada pasar colocation server. Hal ini karena  beberapa perusahaan besar yang sempat beralih ke cloud kini kembali memakai on-premise data center (data center fisik). Inilah yang dimaksud dari fenomena efek bumerang tersebut.

Fenomena Efek Bumerang pada Bisnis Colocation Server

Hampir dua dari tiga CIO (62%) dalam survei Pacific Crest Securities terbaru di tahun 2017 mengenai Cloud dan Infrastruktur Prioritas, banyak pengguna membawa kembali beban kerja mereka ke server fisik. Pada kompetisi pasar antara colocation server vs layanan cloud, banyak perusahaan besar menyarankan bahwa layanan cloud mungkin bukan jawaban untuk segalanya.

Responden survei kebanyakan berasal dari industri teknologi, jasa keuangan, manufaktur, sektor publik dan bisnis ritel dan 2/3 memiliki anggaran TI lebih dari US$ 50 juta atau sekitar Rp. 765 Milyar per tahun .

Banyak perusahaan terkejut ketika menerima tagihan bulanan mereka dari penyedia cloud publik. Tagihan itu menunjukkan berapa banyak mereka benar-benar menghabiskan biaya, kata Scott Lowe, seorang analis teknologi independen pada sebuah acara Data Center di USA.

Bursa Efek Nasdaq Tinggalkan Cloud dan Kembali ke On Premise Data Center

Nasdaq Inc di New York, misalnya, mereka mengakui bahwa komputasi awan sempat hits beberapa tahun yang lalu tapi mereka menemukan bahwa, dalam beberapa kasus, biaya layanan cloud lebih mahal ketimbang on-premise (infrastruktur data center fisik), katanya.

 

Bursa Amerika telah mulai memindahkan beberapa beban kerja kembali ke infrastruktur data center mereka. Perusahaan akan terus menggunakan kombinasi cloud publik dan private untuk menjalankan beban kerja yang diberikan berdasarkan biaya dan tuntutan aplikasi.

Efek bumerang biasanya terjadi pada perusahaan teknologi dan perusahaan yang lebih besar, menurut survei Pacific Crest.

Dinamika Bisnis Colocation Server di Era Cloud Computing

Cloud publik memang menarik bagi para perusahaan startup. Seperti perangkat keras, lisensi dan Microsoft Certified Engineer, hanya ber biaya sekitar puluhan ribu dolar pada hari pertama. Tetapi sebagian besar mereka memanfaatkan komputasi awan hanya untuk awal berdirinya perusahaan. Ketika perusahaan startup tersebut telah matang, maka mereka berpindah ke on-premise kata Hamilton, veteran teknologi 20-tahunan.

Salah satu atraksi awal komputasi awan adalah bahwa hal itu akan mengurangi biaya modal yang besar dan memungkinkan komputasi untuk dibeli sebagai potongan yang lebih kecil dari biaya operasional. Tapi akan selalu ada situasi di mana komputasi awan tidak akan menghemat uang dalam jangka panjang.

Konsep Hybrid Akan Mewarnai Bisnis Cloud dan Colocation Server

Kombinasi infrastruktur cloud dan on-premise akan membawa keseimbangan, dimana semakin banyak inovasi terbaru dalam segala hal. Seperti pada solusi pemulihan bencana (active-passive) yang semula menerapkan sistem ‘All You Can Eat” akan menjadi solusi disaster recovery ‘ala carte’. Disaster Recovery as a Service atau disingkat dengan DRaaS termasuk solusi Hybrid pada infrastruktur teknologi informasi. Inovasi in berhasil mengawinkan infrastruktur data center fisik yang minimal memiliki sertifikasi Tier III dari The Uptime Institute dan ISO27001 untuk keamanan dengan sebuah teknologi komputasi awan sebagai agen fail-over dan scaling.

Di tahun 2017 ini, Gartner, PwC, dan Frost & Sullivan memprediksi bahwa anggaran belanja TI akan lebih banyak pada teknologi ketimbang cloud ataupun perangkat fisik.

Pin It on Pinterest

Share This